PEDAGOGIKA SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

PAEDAGOGIK SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
(Silahkan copas jika diperlukan dan tinggal komentar untuk perbaikan kami)

A. Pengertian Ilmu Pengetahuan
Pentingnya kejelasan tentang pedagogik sebagai ilmu atau bukan ada dua kepentingan. Sebagai penegasan terhadap status (posisi) dan memperkuat keyakinan terhadap sifat kebenaran dan kegunaan dari sistem teori dalam pedagogik tersebut. Untuk mengawali kajian pada subbab ini, diuraikan terlebih dahulu tentang pengertian ilmu.
Secara etimologis ilmu berasal dari kata alama (bahasa Arab) yang berarti tahu. George Thomas White Patrick dalam bukunya Introduction to Philosophy menyatakan bahwa dalam bahasa latin dikenal pula kata scio, scire (sebagai asal kata science) yang juga berarti tahu. Berdasarkan asal usul katanya itu, maka ilmu atau science berarti pengetahuan. Kneller (Syaripudin & Kurniasih, 2008) mengklasifikasikan pengetahuan menjadi revealed knowledge, intuitive knowledge, rational knowledge, empirical knowledge, dan authoritative knowledge; di samping ada juga yang mengklasifikasikan menjadi commonsense knowledge, scientific knowledge, philosophical knowledge, dan religious knowledge.
Secara etimologis dan secara umum istilah ilmu (sebagaimana dipahami masyarakat umum dalam kehidupan sehari-hari), maka semua pengetahuan – sebagaimana telah dikemukakan di atas – tergolong ilmu. Namun, dalam konteks studi akademik, sejak zaman modern sebagaimana dirintis oleh Francis Bacon (1560-1662), Galileo Galilei (1564-1642), Newton (1642-1727) dan lain-lain, istilah ilmu atau science telah mengalami perubahan arti. Ilmu mempunyai arti yang spesifik, yaitu hanya berkenaan dengan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Sebagaimana yang dikemukakan Titus et. al. (Syaripudin & Kurniasih, 2008) terdapat tiga kemungkinan penggunaan istilah ilmu (science). Pertama, istilah ilmu digunakan untuk menunjuk bodies of knowledge, misal: fisika, kimia, psikologi dan lain-lain. Kedua, istilah ilmu untuk menunjuk a body of systematic knowledge, yaitu konsep-konsep, hipotesis-hipotesi, hukum-hukum, teori-teori, dan sebagainya yang tersusun secara sistematis dan dibangun melalui kerja para ilmuwan selama bertahun-tahun. Ketiga, istilah ilmu digunakan untuk menunjuk cara kerja tertentu, yaitu scientific method atau metode ilmiah. Dari pernyataan Titus et. al. tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian istilah ilmu pada dasarnya mempunyai dua dimensi, yaitu (1) sebagai hasil studi (sebagaimana terkandung dalam penggunaan istilah ilmu yang pertama dan kedua seperti dikemukakan Titus et. al.), dan (2) sebagai metode studi, yaitu metode ilmiah (sebagaimana yang diungkap dalam yang ketiga oleh Titus et. al.). kedua dimensi pengertian yang terkandung dalam istilah ilmu tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan, karena antara kedua-duanya berhubungan erat dalam membangun satu pengertian ilmu. Sejalan dengan hal ini Lenzen (Syaripudin & Kurniasih, 2008) menyatakan bahwa batasan ilmu menunjukkan suatu aktivitas kritis penemuan dan juga sebagai pengetahuan yang sistematis yang didasarkan kepada aktivitas kritis penemuan tersebut. Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa dewasa ini secara operasional dan substansial istilah ilmu mengandung arti sebagai cara kerja ilmiah dan hasil kerja ilmiah. Ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang dihasilkan melalui metode ilmiah.
Terdapat tiga syarat pokok yang harus dipenuhi oleh suatu disiplin ilmu yang otonom. Ketiga syarat yang dimaksud, yaitu;
1. Memiliki objek studi (objek formal) tersendiri yang membendakannya dari objek studi disiplin ilmu yang lainnya.
2. Metodis, yaitu menggunakan metode (metode penelitian ilmiah) tertentu yang tepat dalam rangka mempelajari objek studinya
3. Sistematis, artinya bahwa hasil studinya merupakan satu kesatuan pengetahuan mengenai objek studinya yang tersusun saling berhubungan secara terpadu.
Ada yang berpendapat bahwa selain ketiga syarat atau kriteria di atas masih terdapat satu syarat lagi yang harus dipenuhi oleh suatu disiplin ilmu yang otonom. Satu syarat yang dimaksud adalah terjadinya progres, artinya bahwa sistem pengetahuan yang dimaksud mengalami kemajuan atau terus berkembang. Namun demikian, ada pula yang menentang pendapat tersebut. Alasannya, bahwa bertambah tidaknya pengetahuan sebagai isi suatu ilmu atau maju tidaknya suatu ilmu, akan tergantung kepada ada atau tidaknya ilmuwan yang melibatkan diri untuk mengembangkan ilmu yang bersangkutan adapun hal tersebut tidak akan turut menemukan status keilmuan, melaikan hanya akan menemukan “hidup” tidaknya ilmu yang bersangkutan.
Diantara para ilmuwan telah banyak yang menyatakan bahwa pedagogik berstatus sebagai suatu ilmu yang otonom. Menurut banyak ahli, pandangan ilmiah tentang gejalan pendidikan itu (pedagogik) merupakan ilmu tersendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu tentang humanisme (human sciences) seperti ekonomoi, hukum, sosiologi, dan sebagainya (Drikarya dalam Syaripudin & Kurniasih, 2008). Pendapat di atas dapat dikaji dengan mengacu pada tiga persyaratan (kriteria) keilmuan sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, yaitu berkenaan dengan (1) objek studinya; (2) metode studinya; dan (3) sifat sistematis dari hasil studinya.
B. Pengertian Pedagogik
Istilah pedagogik (bahasa Belanda: paedagogiek, bahasa Inggris: pedagogy) berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu paedos yang berarti anak dan agogos yang berarti mengantar, membimbing atau memimpin. Dari dua kata tersebut terbentuk beberapa istilah yang masing-masing memiliki arti tertentu. Istilah-istilah yang dimaksud yakni paedagogos, pedagogos (paedagoog atau pedagogue), paedagogia, pedagogi (paedagogie), dan pedangogik (paedagogiek). Dari kata paedos dan agogos terbentuk istilah paedagogos yang berarti seorang pelayan atau pembentu pada zaman Yunani kuno yang tugasnya mengantar dan menjemput anak majikannya ke sekolah, selain juga bertugas untuk selalu membimbing atau memimpin anak-anak majikannya. Selanjutnya terjadi perubahan istilah, yang dulunya sebagai pelayanan atau pembantu menjadi pedagog yang memiliki arti sebagai ahli didik atau pendidik. Namun secara prinsipil, bahwa dalam pendidikan anak ada kewajiban untuk membimbing hingga mencapai kedewasaan (Syaripudin & Kurniasih, 2008). Di sisi lain, ada juga paedagogia, yaitu pergaulan dengan anak-anak yang kemudian berubah menjadi paedagogie atau pedagogi yang berarti praktik pendidikan anak atau praktik mendidik anak; dan terbentuklah istilah paedagogiek atau pedagogik yang berarti ilmu pendidikan anak atau ilmu mendidik anak.Dalam beberapa literatur, ditemukan di antara pendidik dan ahli ilmu pendidikan menyatakan pedagogik sebagai ilmu pendidikan atau ilmu mendidik.
C. Pengertian Pedagogik Sebagai Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan perspektif pengertian pendidikan secara “luas”, maka tujuan itu tidak terbatas, tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup (Mudyaharjo dalam Syaripudin & Kurniasih, 2008). Oleh karena itu, pendidikan dapat berlangsung pada tahapan anak usia dini, anak, dewasa dan bahkan tahapan usia lanjut. Mengacu pada asumsi ini, maka terdapat beberapa cabang ilmu pendidikan yang dikembangkan oleh para ahli, yaitu pedagogik, andragogi, dan gerogogi (Sudjana dalam Syaripudin & Kurniasih, 2008). Jadi, mengacu pada pengertian pendidikan dalam arti luas, yang benar dalam konteks ini, bahwa Pedagogik adalah ilmu pendidikan anak. Akan tetapi, Langeveld (Syaripudin & Kurniasih, 2008) dalam bukunya “Beknopte Theoritiche Paedagogiek” pendidikan dalam arti yang hakiki ialah proses pemberian bimbingan dan bantuan rohani kepada orang yang belum dewasa; dan mendidik adalah tindakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian, pendidikan adalah suatu upaya yang dilakukan secara sengaja oleh orang dewasa untuk membantu atau membimbing anak (orang yang belum dewasa) agar mencapai kedewasaan. Lanjut Langeveld, pendidikan baru terjadi ketika anak mengenal kewibawaan. Syaratnya anak mengenal kewibawaan adalah ketika anak memiliki kemampuan dalam memahami bahasa. Oleh karena itu, batas bawah pendidikan atau pendidikan mulai berlangsung yakni ketika anak mengenal kewibawaan. Sedangkan batas atas pendidikan atau saat akhir pendidikan adalah ketika tujuan pendidikan telah tercapai, yaitu kedewasaan. Bila anak belum mengenal kewibawaan, pendidikan belum dapat dilaksanakan, dan dalam kondisi ini yang dapat dilaksanakan adalah pra-pendidikan atau pembiasaan. Dengan demikian, menurut tinjuaan pedagogik tidak ada pendidikan untuk orang dewasa, apalagi untuk manusia lanjut. Pendidikan hanyalah bagi anak. Jadi, apabila mencau pada pengertian pendidikan menurut tinjauan pedagogik, maka pernyataan “pedagogik adalah ilmu pendidikan anak” sama maknanaya dengan “pedagogik adalah ilmu pendidikan. Tetapi ketika mengacu pada pengertian pendidikan secara luas di awal, tidak benar apabila pedagogik dimaknai sebagai ilmu pendidikan.
D. Status Keilmuan Pedagogik
Diantara para ilmuwan telah banyak yang menyatakan bahwa pedagogik berstatus sebagai suatu ilmu yang otonom. Menurut banyak ahli, pandangan ilmiah tentang gejalan pendidikan itu (pedagogik) merupakan ilmu tersendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu tentang humanisme (human sciences) seperti ekonomoi, hukum, sosiologi, dan sebagainya (Drikarya dalam Syaripudin & Kurniasih, 2008). Pendapat di atas dapat dikaji dengan mengacu pada tiga persyaratan (kriteria) keilmuan sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, yaitu berkenaan dengan (1) objek studinya; (2) metode studinya; dan (3) sifat sistematis dari hasil studinya.
Dapat dirumuskan bahwa objek studi ilmu meliputi berbagai hal sebatas yang dapat dialami manusia. Objek studi ilmu dibedakan menjadi: (1) objek material, dan (2) objek formal. Objek material adalah seseuatu yang dipelajari oleh suatu ilmu dalam wujud materinya, sedangkan objek formal adalah suatu bentuk yang khas atau spesifik dari objek material yang dipelajari oleh suatu ilmu. Setiap disiplin ilmu memiliki objek material dan objek formal tertentu. Beberapa disiplin ilmu mungkin memimiliki objek material yang berbeda, tetapi mungkin pula mempunyai objek material yang sama. Namun demikian, sebagai ilmu yang ototnom setiap ilmu harus mempunyai objek formal yang spesifik dan berbeda daripada objek formal ilmu yang lainnya. Objek meterial pedagogik adalah manusia, objek material pedagogik ini adalah sama halnya dengan objek material psikologi, sosiologi, ekonomi dan sebagainya. Namun demikian, pedagogik memiliki objke formal tersendiri, atau mempunya objek formal yang spesifik dan berbeda daripada objek formal psikologi, ekonomi dan sebagainya. Objek formal spikologi adalah proses mental dan tingkah laku manusia; objek formal ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan hidup manusia, melalui proses produksi, distribusi dan pertukaran; sedangkan objek formal pedagogik adalah “fenomena pendidikan” atau “situasi pendidikaní” (Drikarya, 1980 & Langeveld, 1980 dalam Syaripudin & Kurniasih, 2008).
Semua disiplin ilmu dalam mempelajari objek studinya tentu menggunakan metode ilmiah, demikian pula pedagogik. Dalam rangka operasinya, metode ilmiah dijabarkan ke dalam metode penelitian ilmiah. Adapun metode penelitian ilmiah tersebut dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) metode penelitian kualitatif dan (2) metode penelitian kuantitatif.
Yang tergolong metode penelitian kualitatif antara lain fenomenologi, hermeneutika, dan etnometodologi, sedangkan yang tergolong metode penelitian kuantitatif antara lain metode eksperimen, metode kuasi eksperimen, metode korelasional dan sebagainya. Kelompok filsuf dan ilmuan tertentu berpendapat bahwa metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan, sedangkan metode penelitian kuantitatif merupakan penelitian ilmu kealaman. Sebaliknya, pada zaman keemasan sains modern (modern science), yaitu zamah keemasa ilmu-ilmu yang dilandasi filsafat positivisme dan pradigman Newtodian, ada di antara para filsuf dan ilmuan yang berpendapat bawa ilmu-ilmu kealaman maupun ilmu kemanusiaan adau ilmu sosial termasuk di dalamnya pedagogik, dalam rangka studinya seharusnya menggunakan metode kuantitatif atau metode penelitian kealaman. Menurut mereka, sesuatu “ilmu” (termasuk pedagogik) apabila tidak menggunakan metode penelitian ilmu kealaman (metode kuantitatif) maka diragukan status keilmuannya.
E. Karakteristik Keilmuan Pedagogik
Sebagaimana ilmu pada umumnya, pedagogik mempunyai fungsi tertentu. Pedagogik mempunyai lima fungsi :
1. Fungsi deskriptif dan preskriptif. Maksudnya bahwa pedagogik, selain berfungsi untuk menggambarkan atau menjelaskan mengenai apa, mengapa dan bagaimana sesunggunya pendidikan anak (deskriptif), juga berfungsi untuk memberikan petunjuk tentang siapa seharunya pendidik dan bagaimana seharusnya pendidik bertindak dalam rangka mendidik anak.
2. Fungsi memprediksi. Penggambaran atau penjelasan mengenai pendidikan anak sebagai suatu hasil studi dalma pedagogik mengimplikasikan bahwa pedagogik akan dapat memberikan prediksi-prediksi tertentu tentang apa yang mungkin terjadi dalam rangka pendidikan anak.
3. Fungsi mengontrol. Berdasarkan prediks-prediksi seperti dijelaskan di atas, maka dengan pedagogik itu dapat dilakukan kontrol (pengendalian) agar sesuatu yang baik/yang diharapkan berkenaan dengan pendidikan anak dapat terjadi, sedangkan sesuatu yang tidak baik/yang tidak diharapkan yang berkenaan dengan pendidikan anak tidak terjadi.
4. Fungsi mengembangkan. Maksudnya bahwa pedagogik mempunyai fungsi untuk melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan berupaya untuk menghasilakan temuan-temuan yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

Sagala, Syaiful. ( 2009) Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan
Bandung: Alfabetha. Sanjaya. 2006.
Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Pendidikan Jakarta: Kencana Penada Media. Mulyasa E., Dr., M.Pd. ( 2008 ). Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Rosda Karya,.
Muslich, Masnur. 2007. KTSP:Dasar Pemahaman dan Pengembangan Jakarta: Bumi Aksara. Sabri, Alisuf. 2007. Psikologi Pendidikan Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Anas Sudiyono,1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan Jakarta. Depdiknas. 2000.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi Ketiga.
Yunus, abu bakar. 2009. Profesi Keguruan surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Kementerian Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2010.
Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Guru (PK Guru). Jakarta. bermutuprofesi

Seminar "Menjadi Bunda dan Guru PAUD Hebat"

Analisis Alih Fungsi Perilaku

ANALISIS FUNGSI
Langkah awal dalam modifikasi perilaku disebut analisis fungsi. Dalam analisis ini informasi yang relevan dikumpulkan sesuai dengan permasalahan yang akan ditangani. Ada tiga hal yang perlu diungkap dalam analisis fungsi, yaitu faktor-faktor penyumbang terjadinya perilaku, yang ”memelihara” perilaku, dan tuntutan melakukan analisis fungsi dapat digunakan formula ABC. Formula tersebut adalah:
A. (Antecedent) ialah segala hal yang mencetuskan atau menyebabkan perilaku yang dipermasalahkan. Antecedent ini berkaitan dengan situasi tertentu (bila sendiri, bila bersama teman, saat tertentu, tempat tertentu, selagi melakukan aktivitas tertentu, dan sebagainya)
B. (Behavior) ialah segala hal mengenai perilaku yang dipermasalahkan. Behavior ini dilihat dari sisi frekuensinya, intensitasnya, dan lamanya.
C. (Cosequence) ialah akibat-akibat yang diperoleh setelah perilaku itu terjadi. Konsekuensi inilah yang biasanya ’memelihara” perilaku yang menjadi masalah. Misalnya: mendapat pujian atau perhatan, peerasaan lebih tenang, bebas dari tugas, dan sebagainya.
Contoh: Seorang siswa bernama Ida suatu saat disuruh gurunya menyanyi di depan kelas”Ida silahkan sekarang kamu menyanyi di depan kelas!”. ida akhirnya menyanyi dengan suara parau dan tidak hafal syairnya, akhirnya ia mendapat celaan dari teman-temannya akhirnya Ida malu.
Dari contoh di atas sebagai antecedent (A) adalah perintah guru untuk menyanyi di depan kelas. Menyanyi dengan suara parau dan tidak lancar syairnya adalah perilaku yang tampak (B). Konsekuensinya (C) adalah malu.
Dalam analisis fungsi, perolehan informasi diarahkan dalam tiga hal tersebut. Informasi tersebut mungkin berkenaan dengan antecedentnya, mungkin berkaitan dengan perilakunya itu sendiri, atau mungkin berkaitan dengan konsekuensinya. Ketiganya mempunyai peran utama dalam memunculkan masalah dan kelak menentukan teknik pengubahan perilaku yang akan digunakan dalam mengatasi masalahnya. Kadang-kadang dari analisis fungsi ditemukan, bahwa masalah yang sebenarnya tidak sebesar seperi yang dilaporkan. Misalnya, seorang ibu yang teralu perhatian pada anak gadisnya, melaporkan bahwa anaknya terlihat sangat murung akhir-akhir ini. Ternyata kemurungan itu masih dalam taraf normal, karena antecedentnya ialah kehilangan kucing kesayangannya.
Informasi yang relevan juga memungkinkan pengungkapkan problema-problema yang mungkin harus mendapatkan prioritas penyelesaian lebih dahulu dari pada problema yang dikeluhkan. Ketepatan dalam membuat urutan penyelesaian problema akan mempermudah penyelesaian problema yang lainnya.
Setelah informasi yang relevan diperoleh, barulah diambil kesimpulan berkaitan dengan:
1. Siapa yang perlu dikenai perlakuan, dan sipakah yang perlu diikutsertakan dalam pemberian perlakuan.
2. Perilaku mana yang merupakan sasaran perubahan lebih dahulu.
3. Teknik apa yang akan digunakan.
Modifikasi perilaku memerlukan penanganan dengan perencanaan dan monitoring. Makin kritis perilaku bagi kelangsungan kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat individu, serta makin sulit berubah perilaku tersebut, maka diperlukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi makin ketat. Dalam hal ini diperlukan informasi yang akurat dalam analisis fungsi. Masalah yang ”ringan” dan tidak teralu menentukan kelangsungan kehidupan dapat diselesaikan dengan meminta klien untuk mengubah perilakunya sendiri. Cara yang sering dilakukan adalah mendorong klien secara pribadi untuk mengubah perilaku tertentu yang tidak adaptif.

Tutorial E-Learning Kurikulum dan Pembelajaran PAUD

selanjutnya perkuliahan E-learning menggunakan website Edmodo.com maka sebagai mahasiswi anda harus mendaftarkan diri di web tersebut dengan langkah-berikut ini:
1. buka website www.edmodo.com
2. kemudian klik tulisan student (anda harus masuk sebagai mahasiswa) teacher-student-parent )klik student saja)
3. isi daftar isian yang ada .... untuk group code isi (magufi) tanpa kurung kode itu hanya berlaku 1 kelas online yaitu kurikulum dan pembelajaran paud....sedangkan kode kelas PABK (fv656w)
4. terakhir signup....oke deh....

PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN TAMAN KANAK –KANAK Pertemuan ke III 24 Maret 2015

PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN
TAMAN KANAK –KANAK
Pertemuan ke III
24 Maret 2015


A. Pengertian Kurikulum
1. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
2. Kurikulum TK adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujaun, bidang pengembangan, dan penilaian serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan


B. Fungsi dan Tujuan Taman Kanak -kan ak
1. Fungsi Taman Kanak-kanak
Fungsi pendidikan Taman Kanak-kanak adalah membina, menumbuhkan, mengembangkan seluruh potensi anak secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya.
2. Tujuan Taman Kanak-kanak
a. Membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman da tertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung-jawab.
b. Mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan social peserta didik pada masa usia emas pertumbuhan dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.
c. Membantu peserta didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi nilai-nilai agama dan moral, sosio-emosional kemandirian, kognitif dan bahasa, dan fisik/motorik, untuk siap memasuki pendidikan dasar.


C. Arah atau Sasaran Program Pembelajaran
Program pembelajran di TK diarahkan pada pencapaian perkembangan anak sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak berdasarkan tingkat pencapaian perkembangan anak yang dikategorikan dalam kelompok umur 4 – 6 tahun sebagai acaran normative dan dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik agar siap mengikuti pendidikan pada jenjang SD, atau bentuk lain yang sederajat.


D. Prinsip Pengembangan Program Pembelajaran
Program Pembelajaran Taman Kanak-kanak dikembangkan berdasarkan prinsip- prinsip berikut :
1. Berpusat pada Potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Program pembelajaran dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan potensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung-jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan perkembangan peserta didik disesuaikan dengan potensi perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan Untuk pendidikan di TK tetap memperhatikan nilai-nilai budaya daerah dan karakter bangsa yang selaras dengan nilai-nilai agama dan moral.
2. Beragam dan Terpadu, Program pembelajaran dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah dan jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender Program pembelajran di TK harus dapat mengakomodasi pendidikan inklusi bagi anak yang berkebutuhan khusus.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, Program pembelajaran dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis dan oleh karena itu semangat dan isi program pembelajran mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan Pengembangan program, pembelajaran dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stskeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk didalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan, Substansi program pembelajran mencakup keseluruhan dimensi perkembangan, bidang kajian keilmuan dan b idang pengembangan yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan.
6. Belajar sepanjang hayat, Program pembelajran diarahkan kepada proses pengembangan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Program pembelajaran mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, non formal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya Program pembelajaran di TK memotivasi dan memfasilitasi keingintahuan anak untuk mengembangkan minat belajar secara terus menerus.
7. Seimbang antara kependingan nasional dan kepentingan daerah Program pembelajran dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.


E. Karakteristik Program Pembelajaran
Pengembangan program pembelajran Pendidikan Taman Kanak-kanak memiliki karakteristik sebagai berikut ;
1. Program pembelajran di Taman Kanak-kanak dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan kebutuhan terhadap kesehatan, gizi, stimulasi sosial dan kepentingan terbaik bagi anak.
2. Program pembelajaran di Taman kanak-kanak dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan karakteristik anak TK dan layanan pendidikan
3. Program pembelajran di Taman Kanak-kanak dilaksanakan berdasarkan prinsip belajar melalui bermain dengan memperhatikan perbedaan individual, minat dan kemampuan masing-masing anak, sosial budaya serta kondisi dan kebutuhan masyarakat.

F. Catatan Diskusi
(meninggalkan komentar/jawaban diskusi adalah alat record kehadiran mahasiswa)
1. Bagaimana anda memandang perubahan kurikulum di PAUD?
2. Sejauh mana urgensi perubahan kurikulum PAUD?
3. Menurut anda apa yang perlu di rumah dalam kurikulum paud; materi, metode, pendekatan? Mengapa?

Landasan dan Sejarah PABK di Indonesia (pertemuan III) dalam e-learning

Landasan dan Sejarah PABK di Indonesia
(pertemuan III) dalam e-learning

A. Landasan Yuridis
1. UUD 1945 (amandemen) Pasal 31 Ayat (1) : “Setiap warga negara berhak mendapatpendidikan” Ayat (2) : “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”

2. UU No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional : Pasal 3 Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pasal 5 Ayat (1) :Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu Ayat (2) :Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, Ayat (3) :Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, Ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal 32 Ayat (1) : Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ayat (2) : Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

3. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 48 • Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Pasal 49 • Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan

4. UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat

5.Deklarasi Bandung tanggal 8-14 Agustus 2004 tentang ”Indonesia menuju Pendidikan Inklusi”, a. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal. b. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun cultural. c. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat. d. Menciptakan lingkungan yang mendukung bagi anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya secara optimal e. Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun dan dilingkungan manapun, dengan meminimalkan hambatan f. Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui media masa, forum ilmiah, pendidikan, pelatihan, dan lainnya secara berkesinambungan. g. Menyusun rencana aksi (action plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas fisik dan non fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya.

6. PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan,

7. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380 /C.66/MN/2003, 20 Januari 2003 perihal Pendidikan Inklusi bahwa di setiap Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia sekurang kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara inklusi yaitu di jenjang SD, SMP, SMA dan SMK masing-masing minimal satu sekolah.

8. Deklarasi Bukittinggi tahun 2005 tentang ” ”Pendidikan untuk semua” yang antara lain menyebutkan bahwa ”penyelenggaraan dan pengembangan pengelolaan pendidikan inklusi ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, istitusi terkait, dunia usaha dan industri, orangtua dan masyarakat”. Sedangkan Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah:Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. B. Landasan Empiris Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995). Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya. D. Landasan Filosofis Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajuban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. D. Landasan Pedagogis Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

Sejarah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
A. Sejarah Pendidikan ABK
Pendidikan khusus tumbuh dari satu kesadaran awal bahwa beberapa anak membutuhkan sejenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan tipikal atau biasa agar dapat mencapai potensi mereka. Akar dari kesadaran ini dapat ditelusuri di Eropa pada tahun 1700-an ketika para pionir tertentu mulai membuat upaya-upaya terpisah untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Salah satu upaya tersebut dengan mendirikan lembaga-lembaga residensial yang didirikan di Amerika Serikat untuk mengajar penyandang cacat terbanyak di awal 1800-an. Hal ini membuat Amerika Serikat menjadi negara yang memimpin negara-negara lain dalam pengembangan pendidikan khusus di seluruh dunia. Pengenalan yang perlahan-lahan terhadap pendidikan khusus sebagai sebuah profesi yang membutuhkan keahlian telah merangsang perkembangan bidang ini. Sehingga organisasi-organisasi profesi dan kelompok-kelompok pendukung mulai didirikan dan menjadi kekuatan yang dahsyat di belakang banyaknya perubahan yang mengakar dan memberikan kekuatan munculnya layanan-layanan pendidikan khusus.
Setiap negarapun mulai menyediakan jenis layanan yang berbeda dengan Negara lainnya yang didasarkan pada sumber daya keuangan Negara bersangkutan. Pengadaan pendidikan khusus ini akan terus menarik perhatian dari para pembuat kebijakan, orang tua, pendidik, kelompok-kelompok pendukung akan terus berupaya mandapatkan mandate guna menjamin terlaksananya pengadaan tersebut.
Dewasa ini, peran lembaga pendidikan sangat menunjang tumbuh kembang dalam mengolah system maupun cara bergaul dengan orang lain. Selain itu lembaga pendidikan tidak hanya sebatas wahana untuk system bekal ilmu pengetahuan, namun juga sebagai lembaga yang dapat member skill atau bekal untuk hidup yang nanti diharapkan dapat bermanfaat dalam masyarakat.
Sementara itu, lembaga pendidikan tidak hanya ditunjukkan kepada ank yang memiliki kelengkapan fisik saja, tapi juga anak-anak keterbelakangan mental. Pada dasarnya pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus sama dengan pendidikan anak-anak pada umumnya.


B. Sejarah Perkembangan Pendidikan ABK
Para ahli sejarah pendidikan biasanya menggambarkan mulainya pendidikan luar biasa pada akhir abad ke 18 atau awal abad ke 19. Di Indonesia di mulai ketika Belanda masuk ke Indonesia (1596-1942), dimana dengan memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi barat, untuk pendidikan bagi anak penyandang cacat dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga pertama untuk anak tunanetra, tunagrahita tahun 1927 dan untuk tunarungu tahun 1930 yang ketiganya terletak di Kota Bandung.
Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI mengundang-undangkan tentang pendidikan. Undang-undang tersebut menyebutkan pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak tersebut berhak dan diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun (pasal 8). Dengan ini dapat dinyatakan berlakunya undang-undang tersebut maka sekolah-sekolah baru yang khusus bagi anak-anak penyandang cacat, termasuk untuk anak tunadaksa dan tunalaras yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Berdasarkan urutan berdirinya SLB pertama untuk masing-masing kategori kecacatan SLB dikelompokkan menjadi:
1. SLB A untuk anak tunanetra
2. SLB B untuk anak tunarungu
3. SLB C untuk anak tunagrahita
4. SLB D untuk anak tunadaksa
5. SLB E untuk anak tunalaras
6. SLB F untuk anak tunaganda

bahan diskusi adalah: (tinggalkan komentar anda sebagai bentuk record kehadiran kuliah)
1. bagaimana anda melihat landasan dasar penyenggaraan PABK dengan kontek kekinian!
2. bagaimana anda mengkritisi komitmen pemerintah melalui landasan dasar PABK!
2. sejauhmana urgensi pendidikan anak berkebutuhan khusus menurut anda?